Januari 04, 2009

dan Ibu pun tak pernah cuti :)

Saya sering berpikir bahwa pekerjaan seorang dokter adalah sebuah pekerjaan yang tak pernah mengenal cuti. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, selalu ada pasien baru. Penyakit tidak mengenal tanggal merah, libur akhir tahun, bahkan hari raya. Saat istirahat kadang terganggu oleh deringan telepon konsulan dari Rumah Sakit mengabarkan ada pasien gawat yang segera memerlukan pertolongan. Sehingga kadang saya merasa waktu untuk diri sendiri begitu minim.
Tapi, sebenarnya ada pekerjaan yang tak pernah mengenal cuti sama sekali. Pekerjaan yang lebih berat daripada menjadi seorang dokter, yaitu menjadi seorang IBU. Dari sembilan bulan mengandung, melahirkan dengan taruhan nyawa, lalu bangun tengah malam untuk membuatkan susu, mengganti popok, dan merawat di saat si anak sakit bahkan hingga si anak dewasa dan punya anak sendiri. Seorang Ibu tetap akan menjadi seorang Ibu. Tidak mengeluh di saat sang anak berulah, tidak meminta imbalan saat sang anak menjadi pengusaha, tidak meminta PHK saat sang anak menyakiti hatinya :). Seorang Ibu hanya ingin memberi, tanpa pernah meminta.

Januari 01, 2009

Ambil Sepuasnya-Makan Sekenyangnya-Bayar Belakangan
( Tentang Sebuah Kepercayaaan )

" In the middle of the night, the dream wakes me up,..." lagu Dream dari Mocca berbunyi dari ponsel saya, menandakan bahwa ada sms yang masuk. Dari Fya ternyata, " Ri hari ini kita masuk siang. Dokter Faesol ( dokter spesialis radiologi, pembimbing kami di stase radiologi ) baru masuk jam 11.00. Kamu dimana? Udah berangkat belum ? Kalo belum aku jemput ke kost ya? Temenin aku sarapan yuk." Perasaan saya campur aduk ketika membaca sms dari Fya antara kesal dan senang. Kalau saja saya tahu, hari ini masuk siang tentu saja saya tidak akan terburu-buru bangun tadi pagi. Saya bisa sedikit menambah waktu tidur apalagi saya sedang libur dari kewajiban salat lima waktu ( biasa, kedatangan tamu bulanan ;p ). Tapi, sekarang saya sudah rapi dan bersiap untuk berangkat ke RS. Mau berganti baju lagi, rasanya malas. Hm, mungkin lebih baik saya mengiakan tawaran Fya. Lumayan bisa cuci mata di pagi hari sebelum nanti terkurung di dalam ruangan radiologi yang berukuran 3x3 meter :)

"Yuuk. Aku belum berangkat, Fy. Kutunggu kamu di depan ya." Kemudian saya pun bergegas ke ruang tamu dan menunggu jemputan Fya.
"Kita mau sarapan di mana, Ri?Bingung niy." Tanya Fya segera setelah saya masuk ke dalam mobilnya.

" Yah, Fy. Kamu maunya apa? Aku siy tadi udah sarapan roti tawar sama minum milo. Masih kenyang jadi aku cuma nemenin kamu aja ya. Terserah kamu pengen sarapan apa." Setiap pagi saya terbiasa sarapan setangkup roti tawar, bisa dengan selai strawberry, mentega dan meises, atau juga keju. Tergantung keinginan pada hari itu. Pagi ini saya sarapan roti tawar isi selai strawberry dan segelas milo panas. Hmm, nikmat.

Fya mengarahkan mobilnya ke arah jalan Kaliurang, kemudian masuk ke daerah selokan Mataram,di depan Fakultas Kedokteran Hewan UGM kami berhenti dan berusaha untuk mencari tempat parkir yang tersisa di antara deretan mobil dan bus pariwisata berplat luar kota Jogja ( ada yang dari Jakarta, Surabaya, Bandung, dan masih banyak lagi. Jogja begitu sesak saat liburan tiba ;p). Tujuan kami adalah RM SGPC, singkatan dari sego pecel yang dalam bahasa Indonesia berarti nasi pecel. Rumah makan ini menyediakan nasi pecel lengkap dengan lauk pauknya sebagai teman untuk menyantap pecel seperti tahu-tempe goreng, mendoan, sate ayam, dan beberapa menu gorengan lainnya.
Sesampainya di dalam, kami sempat dibuat syok melihat betapa ramainya pengunjung yang ada. Hampir seluruh tempat duduk yang berupa meja dan kursi panjang yang terbuat dari kayu terisi penuh. Saya mengedarkan pandangan dan berusaha mencari tempat kosong, sementara Fya mengambil makanan. Akhirnya saya menemukan ada satu meja kosong yang letaknya di pojok belakang, tanpa membuang waktu saya segera menempatinya. Tak lama kemudian, Fya datang sambil membawa teh hangat dan sepiring nasi pecel lengkap dengan lauk pauknya.
"Ri, aku heran deh kok bisa ya mereka segitu percayanya sama pengunjung. Gak takut ya, kalo pengunjung yang datang itu nakal." Fya berkata sambil menikmati nasi pecelnya. "Emangnya kenapa, Fy?" " Iya. Kan di sini, kita ngambil makanannya dulu, sepuasnya. Baru kemudian kalo udah selesai kita bayar. Nah, seandainya kalo pengunjung yang datang gak jujur. Ngakunya cuma makan nasi pecel aja sama minum gak bilang kalo pake lauk atau misalnya ngambil tempenya dua, tapi pas bayar cuma satu. Kan rugi tuh kalo lama-lama kayak gitu."
" Tapi buktinya mereka gak rugi kan, Fy. Malah semakin ramai yang datang dan tempatnya juga bertambah luas. Iya kan?"Saya menjawab pertanyaan Fya tadi sambil menyeruput segelas teh hangat.

Bila dipikir dengan logika mungkin apa yang ditakutkan Fya masuk akal juga. Bagaimana mungkin kasir bisa memantau apa yang dimakan pengunjung sementara begitu ramai pengunjung yang ada? Sistim seperti ini memang sarat dengan risiko. (Ambil sepuasnya-makan sekenyangnya-bayar belakangan ). Rumah makan bisa rugi andaikan pengunjung tidak jujur. Namun nyatanya tidak demikian. Rumah makan tetap bertahan, malah semakin besar dan juga semakin ramai. Mungkin ada satu atau dua pengunjung yang nakal dan tidak jujur, tapi saya yakin jumlahnya tidak sampai sepuluh.

Hari ini saya belajar tentang satu teori. Saya menyebutnya sebagai filosofi kepercayaan, berilah kepercayaan dengan tulus, maka orang yang kita beri kepercayaan itu dengan sadar akan berusaha memegang kepercayaan yang kita berikan. Ada perasaan ewuh pakewuh ( sungkan J ) bila mengabaikan kepercayaan yang diberikan.

Mungkin begitu juga dalam cinta, karena kepercayaan begitu penting dalam sebuah hubungan. Saya pernah membaca ungkapan " mencintai itu bagai mengenggam pasir dalam telapak tangan. Semakin erat kau mengenggamnya, pasir – pasir itu akan hilang melalui sela-sela jarimu. Namun, bila kau genggam dengan longgar, pasir itu akan tetap ada di tempatnya."

Dan bukankah kita ingin semua tetap pada tempatnya? :)
 
design by Grumpy Cow Graphics | Distributed by Deluxe Templates