September 15, 2009

Adatku sayang, Adatku ribet

Tulisan ini melanjutkan tulisan saya yang sebelumnya, tentang melestarikan budaya bangsa (baca tulisan saya sebelum ini). Sebenarnya tidak ada maksud saya untuk membuat sekuel-sekuelan atau cerita bersambung. Namun, kejadian yang saya alami (hm, mungkin lebih tepatnya obrolan yang terjadi) pada hari Sabtu kemarin antara saya dan beberapa orang memancing saya untuk berkomentar di sini :).

Sabtu pagi kemarin di Poliklinik Jiwa di RSU tempat saya koass, saya dan kedua teman sekelompok sedang menanti datangnya sang dokter spesialis untuk menguji kami di hari itu (biasaaa pekerjaan koass kan menunggu ;p). Sambil menunggu dan untuk menghilangkan ketegangan (belajar di detik-detik akhir sebelum ujian, saya rasa sudah tidak lagi efektif) kami bertiga mengobrol (baca ngerumpi) dengan Ibu Titik (perawat di Poli Jiwa). Ibu Titik ini sebentar lagi akan "mantu" (bahasa Jawa: menikahkan anak perempuannya). Iseng saja, saya tanyakan pada beliau "Bu, nanti nikahnya Novi (anak Bu Titik)pake adat Jawa lengkap ga Bu?" "Gaklah, mba. Repot. Banyak yang mesti disiapkan. Yang biasa aja, yang penting akad dan resepsi trus nikahnya syah." Ibu Titik menjawab pertanyaan saya.
"Iya bu, Sari juga kalo nikah ga mau pake adat. ribet. Dulu yang nikahannya pake adat itu adek bungsunya mama. Lengkap dari mulai siraman, malam midodareni, sampe ritual-ritual kayak pijak telur." Sambung Sari, teman sekelompok saya. "Iya, mba Sari. dalam ajaran agama kan juga gak ada kewajiban-kewajiban seperti itu." sambung Bu Titik lagi. Dan obrolan pun terus berlanjut mengenai betapa ribetnya segala adat istiadat Jawa mengenai pernikahan.

Saat itu saya hanya diam. Sejujurnya siy, mulut saya gatel sekali ingin berkomentar begini " Naaah, ini salah satu contoh yang mempercepat punahnya budaya bangsa kita" Hmm, terlalu kejam ya, makanya saya ga jadi saya katakan :P. Seperti yang pernah saya tulis, KITA juga turut andil dalam acara klaim-klaiman budaya itu. KITA (sekali lagi saya tulis ini dengan huruf kapital). Dengan berbagai macam alasan dari repot, ribet, butuh banyak biaya, ga ada dalam tuntunan agama, KITA memilih untuk tidak melakukan tradisi dan budaya nenek moyang. Lalu, ketika orang luar yang tertarik dan jatuh cinta dengan segala filosofis yang terkandung dalam kesenian dan kebudayaan yang kita miliki mulai mempelajari dan (mungkin dengan khilafnya) mengakui itu jadi bagian budaya mereka (karena budaya kita itu kan adorable banget!), kita baru merasa panas, kebakaran jenggot, dan marah. Padahal tanpa kita sadari kita sendiri yang telah membiarkan hal itu terjadi.

Saya akui saya dulu juga punya pandangan yang sama. Adat dan serangkaian prosesi adat pernikahan Jawa (dan juga adat-adat dari suku lain yang ada di Indonesia) terlihat ribet dan memerlukan banyak biaya. "Kan yang penting syah. Yang penting ijab dan kabul.Sayang duitnya, mending untuk keperluan yang lain." Sebagian dari kita, banyak yang berpikiran seperti itu, terutama yang muda-muda. Tapiii, sebenarnya di balik segala keribetan yang ada terkandung makna yang dalam dan sarat filosofis dari setiap prosesi yang dilaksanakan :).

Ini saya sadari ketika tanpa sengaja saya bermain-main ke blog tentang pernikahan (Our Love Journal). Di dalam blog ini diceritakan pengalaman si pemilik blog dalam menyelenggarakan pernikahan berikut prosesinya. Berhubung si pemilik blog berasal dari suku Jawa maka prosesi yang diceritakan adalah prosesi Jawa mulai dari puasa, malam midodareni, acara siraman, temu penganten (setelah ijab kabul selesai), saling melempar sirih, pijak telur, dan masih banyak lagi (saya belum hapal urutan acar satu persatu)-kalau mau tahu lebih jauh, silakan buka blog our love journal. Tapi menurut saya, keseluruhan prosesi ini sangat menarik dan menginspirasi saya :).

Jadi inget si mama, beliau pernah (mungkin sampai sekarang masih bercita-cita) ingin mengadakan acara pernikahan saya dengan si mas (prikitiiw ;p) lengkap dengan segala prosesinya. Waktu saya menyampaikan protes dan keberatan saya, mama berkilah bahwa mama hanya ingin melestarikan budaya Jawa karena sekarang sudah sangat jarang acara pernikahan lengkap seperti itu. Hmmm, alasan yang masuk akal. Siapa lagi yang akan melestarika kebudayaan dan adat istiadat kita kalau bukan kita sendiri. Memang, sebagian beralasan dana dan kepraktisan karena untuk mengadakan acara lengkap seperti itu pastilah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Semua ini tergantung pada individu masing-masing, Namun, menurut saya tidak ada salahnya apabila kita mempunyai uang dan dana berlebih untuk mengadakan acara pernikahan lengkap. Jangan pikir ribetnya, anggap saja ini wujud kecintaan terhadap budaya bangsa. Kita gak mau kan, suatu saat negara tetangga kita mengklaim ini juga sebagai bagian dari budaya mereka???

Please, do something. Not only Talk, but do Some actions :)

September 11, 2009

Siapa yang harus disalahkan????

Sebelumnya saya ingin bercerita bahwa draft tulisan ini sudah ada di otak saya berminggu-mingu sebelumnya, namun karena beberapa alasan, baru saat ini saya sempat menuangkannya dalam blog ini.

Jadi begini ceritanya, beberapa waktu lalu kan kita dihebohkan oleh kasus klaim-klaiman dengan negara tetangga kita (negeri sebelah itu loh yang masih satu rumpun juga dengan kita). Dikatakan bahwa si negeri tetangga ini dengan tidak sopannya telah mengklaim beberapa budaya warisan nenek moyang kita seperti reog Ponorogo, Batik, Tari Pendet (ini hanya contoh kecil saja) sebagai budaya mereka dan dimasukkan dalam iklan promosi pariwisata mereka.

Tentu saja, hal ini memancing reaksi dari besar komponen bangsa ini. Status-status yang bernada membangkitkan nasionalisme ramai di situs-situs jejaring pertemanan dan microblogging (macam twitter). Masing-masing heboh membahas dan memberikan pendapat mereka, bahkan tidak sedikit dari pendapat itu yang bernada menghujat.

Namun, di antara sekian banyak yang memberi pendapat, ada satu pendapat yang mengena dan sedikit menyentil saya. Saya lupa bagaimana pasti isinya, namun kira-kira begini : kita juga turut andil dalam hal ini karena kita sendiri yang kurang melestarikan budaya bangsa."

Hmmm,kalau dipikir ini ada benarnya juga. Duluuuu, ketika aksi klaim-klaiman ini belum terjadi. Kita (termasuk saya juga) sedikit acuh dengan budaya bangsa ini. Jangan buru-buru protes ataupun membantah kata-kata saya tadi :). Mari kita lihat fakta-fakta yang ada, tentunya dengan hati yang lapang dan kejujuran. Dan inilah faktanya:

1. Coba deh hitung ada berapa dari kita yang bisa berbahasa daerah? bahasa jawa(kromo maupun ngoko?), bahasa sunda, atau bahasa daerah yang lain? atau ada berapa dari kita yang khusus mengambil les bahasa daerah, bahasa jawa contohnya (karena saya berasal dari jawa)?
Dengan jujur saya jawab tidak. Saya dari kecil malah sibuk belajar bahasa inggris dan ketika kuliah malah belajar bahasa Jerman. Belum pernah terpikir untuk belajar lebih banyak bahasa nenek moyang saya. Kenapa? karena bisa bahasa Inggris dan bahasa asing lain menurut saya lebih keren daripada belajar bahasa jawa (itu menurut saya dulu).

2. Lalu, ada berapa di antara kita yang belajar kebudayaan daerah semisal, tari daerah (serimpi, pendet,piring, dll), belajar memainkan alat musik daerah macam kolintang, ukulele, angklung, gamelan? Saya yakin bila ada, jumlahnya mungkin tidak banyak. Semuanya pasti lebih mahir main piano, gitar elektrik, atau drum daripada sibuk-sibuk belajar alat musik daerah. Padahal orang luar negeri (bule) itu begitu bersemangat mempelajari kebudayaan kita itu. Ini juga saya alami sendiri. Ketika kecil, saya malah memilih les piano.

3. Selanjutnya, ada berapa di antara kita yang menonton pagelaran wayang (orang maupun kulit), ludruk atau kesenian tradisional khas lainnya. Sebagian besar kan lebih senang berada di bioskop yang dingin dan ber-AC daripada menonton pagelaran seperti itu di taman hiburan rakyat. Kalau saja, kita menonton wayang dll, tentu para pelaku kesenian daerah itu tidak hidup pas-pasan. Saya pernah membaca liputan tentang ini di Kompas (entah edisi yang mana), bagaimana para pelaku seni ini berjuang untuk melestarikan budaya sekaligus mempertahankan sumber mata pencaharian mereka di tengah gerusan arus modernisasi. Wayang orang Langen Budoyo yang terkenal di jaman mudanya mama saya sekarang hanya tinggal nama begitu juga dengan kesenian ludruk di Surabaya.

4. Dan yang terakhir, berapa di antara kita yang lebih bangga makan tempe dibandng pizza, lebih memilih rujak dibanding salad buah???

Pertanyaan-pertanyaan tadi bukan bermaksud menghakimi melainkan sebagai bahan renungan kita bersama. Bagaimana kita telah abai terhadap warisan nenek moyang. Bila diambil sisi positifnya, peristiwa klaim-klaiman oleh negara tetangga dapat menjadi cambuk bagi kita untuk lebih melestarikan budaya bangsa.

dan terakhir mungkin kelak anak-anak saya akan saya ajarkan bahasa daerah selain bahasa Indonesia, diajarkan kolintang sebelum gitar?:D
 
design by Grumpy Cow Graphics | Distributed by Deluxe Templates