September 11, 2009

Siapa yang harus disalahkan????

Sebelumnya saya ingin bercerita bahwa draft tulisan ini sudah ada di otak saya berminggu-mingu sebelumnya, namun karena beberapa alasan, baru saat ini saya sempat menuangkannya dalam blog ini.

Jadi begini ceritanya, beberapa waktu lalu kan kita dihebohkan oleh kasus klaim-klaiman dengan negara tetangga kita (negeri sebelah itu loh yang masih satu rumpun juga dengan kita). Dikatakan bahwa si negeri tetangga ini dengan tidak sopannya telah mengklaim beberapa budaya warisan nenek moyang kita seperti reog Ponorogo, Batik, Tari Pendet (ini hanya contoh kecil saja) sebagai budaya mereka dan dimasukkan dalam iklan promosi pariwisata mereka.

Tentu saja, hal ini memancing reaksi dari besar komponen bangsa ini. Status-status yang bernada membangkitkan nasionalisme ramai di situs-situs jejaring pertemanan dan microblogging (macam twitter). Masing-masing heboh membahas dan memberikan pendapat mereka, bahkan tidak sedikit dari pendapat itu yang bernada menghujat.

Namun, di antara sekian banyak yang memberi pendapat, ada satu pendapat yang mengena dan sedikit menyentil saya. Saya lupa bagaimana pasti isinya, namun kira-kira begini : kita juga turut andil dalam hal ini karena kita sendiri yang kurang melestarikan budaya bangsa."

Hmmm,kalau dipikir ini ada benarnya juga. Duluuuu, ketika aksi klaim-klaiman ini belum terjadi. Kita (termasuk saya juga) sedikit acuh dengan budaya bangsa ini. Jangan buru-buru protes ataupun membantah kata-kata saya tadi :). Mari kita lihat fakta-fakta yang ada, tentunya dengan hati yang lapang dan kejujuran. Dan inilah faktanya:

1. Coba deh hitung ada berapa dari kita yang bisa berbahasa daerah? bahasa jawa(kromo maupun ngoko?), bahasa sunda, atau bahasa daerah yang lain? atau ada berapa dari kita yang khusus mengambil les bahasa daerah, bahasa jawa contohnya (karena saya berasal dari jawa)?
Dengan jujur saya jawab tidak. Saya dari kecil malah sibuk belajar bahasa inggris dan ketika kuliah malah belajar bahasa Jerman. Belum pernah terpikir untuk belajar lebih banyak bahasa nenek moyang saya. Kenapa? karena bisa bahasa Inggris dan bahasa asing lain menurut saya lebih keren daripada belajar bahasa jawa (itu menurut saya dulu).

2. Lalu, ada berapa di antara kita yang belajar kebudayaan daerah semisal, tari daerah (serimpi, pendet,piring, dll), belajar memainkan alat musik daerah macam kolintang, ukulele, angklung, gamelan? Saya yakin bila ada, jumlahnya mungkin tidak banyak. Semuanya pasti lebih mahir main piano, gitar elektrik, atau drum daripada sibuk-sibuk belajar alat musik daerah. Padahal orang luar negeri (bule) itu begitu bersemangat mempelajari kebudayaan kita itu. Ini juga saya alami sendiri. Ketika kecil, saya malah memilih les piano.

3. Selanjutnya, ada berapa di antara kita yang menonton pagelaran wayang (orang maupun kulit), ludruk atau kesenian tradisional khas lainnya. Sebagian besar kan lebih senang berada di bioskop yang dingin dan ber-AC daripada menonton pagelaran seperti itu di taman hiburan rakyat. Kalau saja, kita menonton wayang dll, tentu para pelaku kesenian daerah itu tidak hidup pas-pasan. Saya pernah membaca liputan tentang ini di Kompas (entah edisi yang mana), bagaimana para pelaku seni ini berjuang untuk melestarikan budaya sekaligus mempertahankan sumber mata pencaharian mereka di tengah gerusan arus modernisasi. Wayang orang Langen Budoyo yang terkenal di jaman mudanya mama saya sekarang hanya tinggal nama begitu juga dengan kesenian ludruk di Surabaya.

4. Dan yang terakhir, berapa di antara kita yang lebih bangga makan tempe dibandng pizza, lebih memilih rujak dibanding salad buah???

Pertanyaan-pertanyaan tadi bukan bermaksud menghakimi melainkan sebagai bahan renungan kita bersama. Bagaimana kita telah abai terhadap warisan nenek moyang. Bila diambil sisi positifnya, peristiwa klaim-klaiman oleh negara tetangga dapat menjadi cambuk bagi kita untuk lebih melestarikan budaya bangsa.

dan terakhir mungkin kelak anak-anak saya akan saya ajarkan bahasa daerah selain bahasa Indonesia, diajarkan kolintang sebelum gitar?:D

0 komentar:

Posting Komentar

 
design by Grumpy Cow Graphics | Distributed by Deluxe Templates