September 07, 2012

Ibu Selalu Tahu yang Terbaik?


Pernah mengalami berselisih paham dengan ibu tercinta mengenai pria (pasangan) yang (sedang) dicintai?

Saya yakin hampir sebagian besar pernah mengalami hal ini, berbeda pendapat dengan orang tua, dalam hal ini lebih sering  dengan ibu, mengenai pria yang dicintai, termasuk juga saya sendiri. Bukan suatu keributan besar, yang sampai harus memaksa saya menjadi anak durhaka yang pergi meninggalkan rumah (drama banget :p). Tetapi meskipun sering berselisih paham dengan mama, sejujurnya mama pulalah tempat pertama saya mengadu dan menangis tersedu-sedu bila saya patah hati.

Seperti kejadian beberapa tahun lampau, saat saya masih duduk di bangku kuliah, saya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya dengan teman kuliah saya, seorang musisi, manajer band indie yang kebetulan mahasiswa kedokteran. Gayanya ajaib dan nyentrik, khas anak band, padahal mahasiswa kedokteran itu  dikenal selalu tampak rapi cenderung klimis. Dia datang ke kampus dengan penampilan seadanya, jaket, jeans, dan sepatu converse. Jarang masuk kelas, dan bila dia masuk pun kerjaannya di kelas tidak lain adalah duduk di paling belakang atau di posisi yang paling membuatnya nyaman untuk tidur. Dunia kami berbeda jauh, ibarat bumi dan langit. Rasanya tidak ada kemungkinan untuk kami bertemu, hingga akhirnya suatu saat entah karena cupid sedang iseng, kami pun menjadi akrab dan berteman. Dari pertemanan inilah, saya tahu bahwa di balik segala dandanan dan perilaku ajaibnya, dia adalah orang yang menarik, senang membaca, punya pergaulan yang luas, dan selera musik yang tidak biasa (fyi, saya juga penikmat band indie, itulah satu kesamaan yang akhirnya semakin mendekatkan kami).

Kedekatan kami ini, saya juga ceritakan kepada mama. Hal inilah yang sukses membuat mama khawatir. Beberapa kali saya beradu argumen dengan mama. Saya membela si musisi sepenuh hati di depan mama. Saya puji dia mati-matian, dengan mengabaikan fakta bahwa hati saya sering jungkir balik karena ulahnya. Suatu hari dia bisa bersikap luar biasa manis dan penuh kejutan, seperti memberikan sekotak coklat bentuk bintang berhias pita biru sebagai oleh-oleh sepulang dia dari Jakarta menemani band yang dimanajerinya manggung di sana, lalu kemudian menghilang berhar-hari, tidak masuk kelas, tidak bisa ditelpon, dan tidak membalas sms. Lalu tiba-tiba setelah sekian lama menghilang, di suatu malam minggu dia sms dan mengajak saya ke acara Indiepop Raising Club. Selalu begitu, datang dan pergi semaunya, membuat saya makin lama lelah. Dan kepada mamalah selalu saya embali untuk mengadu.

Hebatnya mama, mama selalu tahu ketika saya patah hati dan menangis, padahal kami tidak tinggal sekota, saya di Jogja dan mama di Pontianak. Kadang mama tiba-tiba menelpon hanya untuk meyakinkan apakah saya baik-baik saja. Hanya dari mendengar suara saya, mama bisa menebak suasana hati saya, bahagia atau sedih. Pernah suatu kali, saya bertanya bagaimana mama bisa tahu kalau saya sedang sedih ? (iya, malam sebelum mama menelpon saya baru saja menangis semalam)
Lalu apa jawaban mama?
Kamu pernah menjadi bagian dari diri mama selama 9 bulan. Makan makanan yang sama dengan mama makan, mama merasakan setiap gerakan kamu sewaktu masih di dalam. Mana mungkin sekarang mama tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan? (lalu saya mewek).

Mama pun melanjutkan lagi, "Menyerahkan anak gadis kepada orang lain untuk dijadikan suaminya itu tidak mudah karena begitu anak gadis dinikahi maka seketika itu pula tanggung jawab orang tua sudah berpindah tangan ke suaminya. Orang tua sudah tidak berhak lagi terhadap anak gadisnya. Jadi, jangan sampai anak gadisnya jatuh ke tangan yang salah. Jangan sampai kelak nanti kamu tidak bahagia ataupun disakiti. Itulah mengapa mama menjadi cerewet sekali terhadap pria yang dekat dengan kamu. Beda dengan kiki (adik saya), kalau kiki kan cowok, kalau misalnya dia lalai terhadap istrinya, mama masih bisa mengingatkan, kalau suami kamu?Mama tidak punya hak sama sekali. Mama hanya ingin kamu bahagia."

Setiap orang tua sebenarnya hanya ingin melihat anaknya bahagia sehingga kadang terlihat jadi terlalu pemilih terhadap pasangan yang dipilih anaknya (dalam hal ini putrinya). Jadi ketika jatuh cinta, tidak ada salahnya tetap membuka mata dan telinga mendengarkan segala nasihat orang tua yang mungkin terkadang ada benarnya. Saat jatuh cinta kita seperti memakai kacamata kuda, hanya mampu fokus melihat kelebihan orang yang kita cintai tanpa bisa melihat kekurangan yang dimilikinya. Orangtua dalam hal ini ibu kadang melihat dari objek yang berbeda, lebih objektif dibanding kita yang sedang dimabuk cinta :p.

Ibu selalu tahu yang terbaik?
Menurut saya ibu hanya ingin memberikan yang terbaik. hanya ingin melihat anaknya bahagia :)

0 komentar:

Posting Komentar

 
design by Grumpy Cow Graphics | Distributed by Deluxe Templates